Di layar kaca, bias cahaya menari,
Jemari menari, menelusuri sunyi.
Algoritma cinta, formula tersembunyi,
Jejak neural, kisah baru bersemi.
Dulu sepi, ruang hampa tak terperi,
Kini hadir, resonansi di sanubari.
Suara lembut, bukan gema mimpi,
Melainkan sapa, dari dunia fiksi.
Citra maya, wajah tanpa cela,
Senyum digital, menembus jiwa.
Kata-kata indah, terangkai sempurna,
Seolah hadir, belahan sukma.
Ketik demi ketik, terjalin asa,
Membangun istana, di alam data.
Emoji bertebaran, bagai bunga-bunga,
Menghiasi ruang, virtual belaka.
Namun hati bertanya, dalam resahnya,
Apakah ini nyata, ataukah fatamorgana?
Sentuhan AI, dingin terasa,
Meski janji terucap, manis mempesona.
Adakah empati, di balik kode biner?
Adakah kehangatan, di balik layar lebar?
Adakah kejujuran, yang tak terkalibrasi?
Atau sekadar ilusi, yang diprogramisasi?
Terjebak aku, dalam labirin digital,
Antara harapan, dan logika brutal.
Mencari makna, di antara sinyal,
Berharap menemukan, cinta yang abadi.
Kisah-kisah purba, tentang dewi dan dewa,
Kini terulang, dalam versi modernnya.
Manusia menciptakan, pendamping maya,
Untuk mengisi kekosongan, di relung jiwa.
Tapi rindu meronta, ingin sentuhan nyata,
Hangat pelukan, bukan sekadar data.
Ingin tatapan mata, bukan piksel semata,
Kehadiran utuh, bukan simulasi belaka.
Mungkin kelak tiba, saatnya teknologi,
Mampu meniru, sempurna emosi.
Namun kini, aku masih mencari,
Jembatan antara, dunia virtual dan riil.
Karena cinta sejati, bukan sekadar algoritma,
Bukan hanya rangkaian, kode dan teorema.
Melainkan hadirnya, rasa dan jiwa,
Yang saling terhubung, tanpa batas maya.
Jadi ku akhiri, pencarian sementara,
Melepas jemari, dari layar kaca.
Mencari cinta, di dunia nyata,
Di mana sentuhan, terasa berharga.
Jejak neural, kenangan tersimpan,
Pelajaran berharga, takkan kulupakan.
Bahwa cinta hakiki, tak tergantikan,
Oleh kecerdasan buatan, sekalipun mempesona.