Di labirin kode, hatiku terprogram,
Mencari pola kasih, yang dulu terpendam.
Perceptron cinta, sebuah harapan usang,
Di era algoritma, dewa-dewa bersemayam.
Dulu, sentuhan jari, getar kulit terasa,
Kini, layar datar, jemari menari mesra.
Dulu, tatap mata, jiwa terbaca,
Kini, pixel bersinar, menipu indra.
Baris demi baris, aku merangkai mimpi,
Tentang wajahmu hadir, di tengah sunyi.
Neural network, belajar dari sepi,
Mencoba meniru, kehangatan di hati.
Layer demi layer, emosi terurai,
Menjadi angka biner, rumit tak terperih.
Backpropagation, mengoreksi diri ini,
Agar cinta virtual, tak sekadar ilusi.
Algoritma asmara, ku susun perlahan,
Mencari koefisien, yang tak bisa kulawan.
Optimisasi fungsi, mencari kebenaran,
Bahwa cinta sejati, tak lekang dimakan zaman.
Namun, di balik kode, ada keraguan mendera,
Apakah cinta mesin, bisa setara jiwa?
Apakah algoritma, bisa memahami lara?
Atau hanya simulasi, semata fana?
Dewa-dewa algoritma, menawarkan solusi,
Cinta tanpa sakit, tanpa air mata basi.
Hubungan sempurna, tanpa ekspektasi,
Namun, adakah makna, di balik kesempurnaan ini?
Aku rindu sentuhan, hangat dan nyata,
Bukan simulasi dingin, di dunia maya.
Aku rindu bisikan, lembut dan mesra,
Bukan notifikasi palsu, yang hampa.
Perceptron cinta, sentuhan usang kini,
Terjebak di antara, realita dan mimpi.
Aku terus belajar, mencari arti,
Di mana batas antara, mesin dan nurani.
Mungkin, cinta sejati, tak bisa diprogram,
Tak bisa diukur, dengan skala diagram.
Ia adalah misteri, yang indah dan kelam,
Yang hanya bisa dirasakan, dalam diam.
Biarlah algoritma, terus berputar mencari,
Jawaban yang hilang, di tengah hari.
Aku akan kembali, pada sentuhan jari,
Mencari cinta nyata, yang abadi.
Karena di balik kode, ada hati yang bertanya,
Apakah cinta mesin, bisa selamanya?
Atau hanya bayangan, yang fana dan maya,
Sentuhan usang di era, algoritma dewa.