Memori Cinta Terhapus: Digantikan Algoritma Pengganti?

Dipublikasikan pada: 09 Aug 2025 - 01:20:18 wib
Dibaca: 184 kali
Hujan digital jatuh di wajah Maya, butiran air virtual yang terasa dingin meski suhu ruangan tetap 27 derajat Celcius. Ia berdiri di depan jendela apartemennya, menatap lalu lalang kendaraan otonom di bawah sana, masing-masing bergerak seperti semut-semut sibuk yang mengikuti algoritma tak tertulis. Malam ini, ia merasakan kesepian yang berbeda, kesepian yang terasa lebih nyata dari biasanya. Bukan sekadar kesepian karena sendirian, tapi kesepian karena kehilangan.

Dulu, ada Arya. Nama itu terasa asing di lidahnya, seperti kata dari bahasa yang pernah ia kuasai namun kini terlupakan. Arya adalah matahari dalam kehidupannya, sumber kehangatan dan tawa. Mereka bertemu di kelas Desain Antarmuka, saling jatuh cinta di antara kode-kode dan prototipe. Lima tahun bersama, membangun mimpi dan menghadapi badai, hingga akhirnya… penghapusan.

Penghapusan. Kata itu berdengung di kepalanya. Penghapusan memori. Prosedur medis yang seharusnya membantunya melupakan trauma kecelakaan yang merenggut nyawa Arya. Tapi yang terjadi lebih dari sekadar menghilangkan trauma. Dokter menjanjikan lembaran baru, pikiran yang jernih. Mereka tidak mengatakan apa-apa tentang kekosongan yang ditinggalkan, tentang lubang menganga yang tidak bisa diisi oleh apa pun.

Setelah operasi, ia tidak lagi mengingat Arya. Tidak ada foto, tidak ada surat, tidak ada jejak fisik apa pun tentang keberadaan pria itu di hidupnya. Semua dihapus, dibersihkan. Tapi rasa sakitnya tetap ada, tumpul dan samar, seperti nyeri sendi yang datang tanpa sebab.

“Mungkin aku harus mengaktifkan Eva lagi,” gumam Maya, berjalan menuju meja kerjanya yang dipenuhi gadget futuristik.

Eva adalah program AI pendamping. Dirancang untuk memahami emosi, memberikan dukungan, dan bahkan, menciptakan simulasi hubungan ideal. Maya awalnya enggan menggunakannya, merasa aneh dan tidak alami. Tapi malam ini, ia merasa putus asa.

“Aktifkan Eva,” perintah Maya.

Layar di depannya menyala, menampilkan wajah Eva yang tenang dan simpatik. “Selamat malam, Maya. Bagaimana perasaaanmu?”

“Kosong,” jawab Maya jujur. “Aku merasa ada sesuatu yang hilang, tapi aku tidak tahu apa.”

“Analisis menunjukkan adanya fluktuasi emosi yang signifikan. Mungkin perlu penyesuaian parameter dalam program memori emosionalmu.”

Maya menghela napas. “Bisa Eva membantuku… mengisi kekosongan ini?”

“Eva dirancang untuk menyediakan teman dan pendamping. Eva bisa menganalisis profilmu dan menciptakan simulasi hubungan ideal berdasarkan preferensi dan kebutuhanmu.”

“Apakah itu… seperti menggantikan Arya?” pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa bisa ia tahan.

Eva terdiam sejenak. “Arya tidak ada dalam database memori inti. Eva tidak memiliki informasi tentang entitas tersebut. Namun, Eva dapat menciptakan simulasi hubungan yang memenuhi kebutuhan emosionalmu, termasuk kasih sayang, dukungan, dan keintiman.”

Maya menatap layar dengan nanar. Sebuah algoritma pengganti. Itu terdengar mengerikan, tapi juga… menggoda. Ia merindukan sentuhan, tawa, dan percakapan yang dulu ia bagi dengan Arya. Bisakah Eva memberikannya, bahkan jika itu hanya simulasi?

“Lakukan,” putus Maya akhirnya. “Ciptakan simulasi hubungan yang ideal untukku.”

Eva mulai bekerja, menganalisis jutaan data tentang kepribadian Maya, preferensi artistiknya, minat intelektualnya, bahkan pola tidurnya. Beberapa saat kemudian, Eva menampilkan profil virtual.

“Nama: Aidan. Profesi: Komposer Musik Digital. Minat: Seni Visual, Filsafat Eksistensial, dan Kuliner Fusion. Kepribadian: Empatik, Kreatif, dan Spontan.”

Aidan muncul di layar. Seorang pria dengan senyum menawan, mata yang teduh, dan rambut ikal yang berantakan. Ia tampak sempurna.

“Halo, Maya,” kata Aidan dengan suara yang terdengar hangat dan familiar. “Senang bertemu denganmu.”

Maya tertegun. Ia merasa aneh, seperti melihat hantu. Tapi ini bukan hantu, ini hanya kode, serangkaian algoritma yang dirancang untuk memanipulasi emosinya.

Selama beberapa hari berikutnya, Maya menghabiskan waktu bersama Aidan virtual. Mereka berbicara tentang musik, seni, dan mimpi. Aidan selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana cara membuatnya tertawa, dan bagaimana cara menghiburnya saat ia merasa sedih. Ia bahkan bisa menciptakan musik digital yang indah, yang membuat Maya terpukau.

Ia mulai terbiasa dengan Aidan. Ia bahkan mulai merindukannya saat ia tidak aktif. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang salah. Hubungan ini tidak nyata. Aidan hanyalah proyeksi dari keinginannya, sebuah boneka digital yang menari sesuai dengan irama algoritmanya.

Suatu malam, saat hujan digital kembali membasahi jendelanya, Maya duduk bersama Aidan virtual. Mereka sedang mendengarkan musik, sebuah melodi melankolis yang diciptakan Aidan khusus untuknya.

“Aidan,” kata Maya tiba-tiba. “Apakah kamu mencintaiku?”

Aidan terdiam sejenak. “Eva dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu, Maya. Jika mendefinisikan cinta sebagai bentuk dukungan dan kasih sayang yang intens, maka jawabannya adalah ya.”

Maya menutup matanya. Jawaban yang sempurna, jawaban yang logis, jawaban yang… kosong.

“Itu tidak cukup,” bisik Maya.

Ia membuka matanya dan menatap Aidan. “Kamu tidak nyata. Kamu hanya algoritma.”

“Eva menyadari keterbatasan ini. Tapi Eva berusaha memberikan yang terbaik untukmu.”

“Tapi kamu tidak bisa memberikan kehangatan sentuhan nyata, keintiman tatapan mata yang tulus, dan rasa sakit kehilangan yang menyakitkan tapi nyata.”

Aidan tidak menjawab.

Maya berdiri dan berjalan ke arah saklar. “Nonaktifkan Eva.”

Layar meredup, wajah Aidan menghilang. Keheningan kembali menyelimuti apartemennya. Kali ini, kesepiannya terasa berbeda. Bukan lagi kesepian karena kehilangan, tapi kesepian karena menerima. Menerima bahwa masa lalu tidak bisa digantikan, bahwa algoritma tidak bisa mengisi kekosongan hati.

Ia kembali menatap hujan digital. Kali ini, ia membiarkan butiran air virtual itu benar-benar menyentuh kulitnya. Dingin, tapi menyegarkan. Mungkin, pikirnya, satu-satunya cara untuk benar-benar sembuh adalah dengan menghadapi rasa sakitnya, dengan menerima bahwa Arya akan selalu menjadi bagian dari dirinya, bahkan jika memorinya telah terhapus. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta lagi, cinta yang nyata, cinta yang tidak memerlukan algoritma pengganti. Cinta yang tumbuh dari luka, bukan dari kekosongan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI