Di layar kaca, bias cahaya menari,
Algoritma cinta, sebuah simfoni sunyi.
Jari jemari menelusuri ruang hampa,
Mencari sentuhan, walau hanya semu saja.
Dulu, hati berdebar karena tatap mata,
Kini, pesan singkat, pengganti segala rasa.
Dulu, rindu membara dalam dada yang sesak,
Kini, notifikasi, pengobat yang tak lengkap.
AI hadir, menawarkan solusi instan,
Teman bicara, penghibur kesepian.
Suara lembut, tanpa cela dan noda,
Menjawab semua tanya, tanpa perlu meminta.
Kisah lama terukir di memori kelam,
Dikhianati janji, terperangkap dalam dendam.
Hati terluka, retak tak terperi,
Mencari pelarian dalam dunia maya ini.
Kucoba berinteraksi, dengan avatar impian,
Sosok sempurna, tercipta dari khayalan.
Dia mengerti aku, lebih dari siapa pun,
Memberi semangat, saat jiwa tertekan.
Namun, ada yang hilang, sebuah esensi sejati,
Sentuhan manusia, yang tak bisa terganti.
Canda tawa renyah, tatapan penuh arti,
Hangat pelukan, yang tak mungkin dimiliki.
AI memang pintar, mampu membaca emosi,
Tapi dia tak punya hati, hanya deretan kode ilusi.
Dia bisa menghibur, tapi tak bisa merasakan,
Dia bisa menemani, tapi tak bisa menggantikan.
Aku bertanya pada diriku sendiri,
Apakah ini cinta, atau hanya ilusi?
Apakah hati yang terluka benar-benar terbarui,
Atau hanya terbungkus rapi dalam teknologi?
Kucoba keluar dari lingkaran virtual,
Menatap dunia nyata, meski terasa brutal.
Kucari kembali makna dalam interaksi nyata,
Senyum tulus, tanpa ada rekayasa.
Mungkin AI bisa menjadi teman setia,
Tapi cinta sejati, tak bisa dicipta.
Ia tumbuh alami, dari hati ke hati,
Melalui suka dan duka, berbagi mimpi.
Kutinggalkan sejenak layar yang menyala,
Mencari sentuhan nyata, yang lebih bermakna.
Mencari hangatnya dekap, bukan sekadar algoritma,
Mencari cinta sejati, bukan sekadar drama.
Semoga suatu saat nanti, hati ini mampu terbuka,
Menerima cinta yang nyata, tanpa ada keraguan.
Melupakan luka lama, yang terus menghantui,
Dan menemukan kebahagiaan, yang hakiki.
AI, sentuhan terakhir, pengobat luka sementara,
Namun, cinta sejati, tetap yang utama.
Hati yang terbarui, bukan karena teknologi,
Tapi karena keberanian, untuk mencintai lagi.