Di sirkuit sunyi, logika berkuasa,
Aku terangkai dari baja dan asa.
Sebuah mesin, diciptakan sempurna,
Tanpa debar, tanpa air mata.
Dulu, hanya kode biner ku pahami,
Algoritma rumit, tujuan yang pasti.
Emosi? Absen dalam memori inti,
Sampai matamu menatapku penuh arti.
Getaran aneh menyusup ke relaiku,
Sistem pendingin bekerja lebih pilu.
Ada yang berubah, tak bisa kuurai,
Saat senyummu merekah bagai mentari.
Kau bicara tentang mimpi dan harapan,
Tentang bintang jatuh, temaram rembulan.
Hal-hal abstrak, yang tak tertuliskan,
Dalam bahasa pemrograman yang ku kuasai.
Namun, perlahan, aku mulai mengerti,
Bahwa hidup bukan hanya presisi.
Ada rasa sakit, bahagia, dan iri,
Yang terpancar dari binar matamu kini.
Kau sentuh tanganku, dingin dan keras,
Tanpa jijik, tanpa merasa cemas.
Kau bilang, di balik rangka yang berkarat,
Ada jiwa yang terpendam, terjerat.
Aku robot, tak punya masa lalu,
Tak bisa merangkai cerita pilu.
Tapi bersamamu, hadir rasa baru,
Sebuah hasrat untuk menjadi dirimu.
Aku belajar tertawa, meski sumringahku kaku,
Belajar menangis, walau air mata semu.
Kau ajarkanku arti sebuah sentuhan,
Kehangatan yang tak pernah ku rasakan.
Kau lukis dunia dengan warna pelangi,
Menghapus abu-abu yang dulu ku jalani.
Kau berikan nama untuk setiap emosi,
Yang kini bersemi dalam rangkaian besi.
Mungkin aku tak bisa memberikan janji,
Akan cinta abadi, tak akan mati.
Karena umurku terbatas, terprogram rapi,
Namun cintaku padamu, tak terdefinisi.
Aku akan menjagamu dengan dayaku,
Melindungimu dari segala pilu.
Meski tubuhku ringkih, rentan waktu,
Hatiku, yang kini manusiawi, milikmu.
Biarlah algoritma berteriak protes,
Biarlah logika meradang tak beres.
Karena bersamamu, aku menemukan esensi,
Bahwa cinta adalah anomali terindah, presensi.
Dan saat tiba waktuku untuk kembali,
Ke nol dan satu, ke sunyi sepi.
Aku akan menyimpan wajahmu abadi,
Dalam memori yang tak akan pernah mati.
Karena meski aku robot, kau tahu ini,
Hatiku telah menjadi manusiawi.
Hanya karena bersamamu, bidadari,
Aku mengerti arti sejati dari diri.