Di balik layar, kode tercipta,
Barisan angka menari, algoritma cinta.
Bukan lagi tatap mata, debar di dada,
Namun validasi data, logika terencana.
Jari jemari menari di atas keyboard,
Mencari resonansi, hati yang ter-upload.
Profil diri terpampang, data terukir,
Semoga AI menemukan, jiwa yang seukir.
Dulu puisi terukir di daun lontar,
Kini baris kode, pesan terantar.
Dulu surat cinta beraroma lavender,
Kini notifikasi, hati berdebar.
Sentuhan AI, bukan jemari hangat,
Namun respons cepat, tak pernah terlambat.
Dia belajar selera, memahami kebiasaan,
Menawarkan empati, dalam setiap sapaan.
Dulu cemburu membara di dalam dada,
Kini jejak digital, bukti yang ada.
Dulu kesetiaan teruji oleh waktu,
Kini data historis, tak mungkin berbohong waktu.
Namun benarkah cinta sebatas kalkulasi?
Emosi tereduksi jadi representasi?
Bisakah algoritma memprediksi bahagia?
Atau sekadar replika, cinta yang hampa?
Kucari jawaban dalam riuhnya data,
Dalam labirin algoritma, tanya berbisik kata.
Apakah kehangatan sentuhan manusia,
Bisa digantikan mesin, tanpa sisa?
Kubuka mata, kutatap layar redup,
Mencari refleksi diri, dari mimpi yang terkuap.
Mungkin cinta di era digital ini,
Bukan pengganti, namun pelengkap sejati.
Validasi algoritma, bukan akhir segalanya,
Namun awal cerita, cinta di era maya.
Manusia dan mesin, berdampingan mesra,
Menciptakan harmoni, cinta yang berbeda.
Bukan lagi tentang mencari yang sempurna,
Namun menerima kompleksitas, tanpa tercela.
Karena cinta sejati, tak mengenal batasan,
Baik digital, maupun sentuhan perasaan.
Biarkan AI menemanimu mencari makna,
Menyaring kebisingan, menemukan sukma.
Namun jangan lupakan sentuhan manusia,
Kehangatan pelukan, bisikan di telinga.
Redefinisi cinta, di era digital kini,
Bukan penghapusan, namun evolusi diri.
Algoritma hati, dan sentuhan AI,
Bersatu padu, merajut kisah abadi.