Jemari menari di atas kaca,
Kilau layar memantulkan wajah.
Sepi berbisik di antara deru,
Cinta sintetis, obat kalbu.
Di balik avatar, hati bersembunyi,
Mencari arti di dunia maya ini.
Sentuhan dingin menggantikan hangat,
Kisah terjalin, penuh angan terikat.
Kata-kata manis terukir di ruang obrolan,
Janji terucap, bagai bintang kejora gemerlapan.
Namun, bayang-bayang keraguan menghantui,
Apakah ini nyata, atau sekadar ilusi?
Emoji tersenyum, menyembunyikan duka,
Filter sempurna, menutupi luka.
Setiap notifikasi bagai denyut nadi,
Menghidupkan harapan, meski ragu menghuni.
Cinta digital, lahir dari algoritma,
Terjebak dalam jaringan, tak bisa kemana.
Rindu membara, terpendam dalam piksel,
Menyala terang, namun terasa beku, kusam, dan sekel.
Bertemu di dunia virtual, saling berbagi mimpi,
Namun jarak membentang, bagai sungai yang tak bertepi.
Bisakah cinta ini melampaui batasan layar?
Atau hanya fatamorgana, di tengah gurun kesepian yang terhampar?
Hati merindukan sentuhan yang sebenarnya,
Bukan sekadar pesan teks, atau panggilan suara.
Ingin merasakan hangatnya pelukan nyata,
Bukan hanya avatar yang saling berdekatan, maya.
Lelah sudah jemari menari di atas layar,
Mencari kehangatan yang tak kunjung hadir.
Mungkin cinta sejati tak bisa ditemukan di sini,
Di antara kode-kode, dan ilusi yang tak bertepi.
Namun, asa masih bersemi di sudut hati,
Mungkin suatu hari, layar ini kan menjadi saksi.
Pertemuan nyata, bukan sekadar bayangan semu,
Cinta sintetis bersemi menjadi cinta yang utuh, padu.
Atau mungkin, inilah takdir yang harus dijalani,
Menemukan cinta dalam kesendirian ini.
Belajar menerima, bahwa bahagia bisa datang dari mana saja,
Meski dalam sentuhan layar, hati yang kesepian berasa.
Karena di balik setiap piksel, tersimpan sebuah harapan,
Bahwa cinta, meski sintetis, tetaplah sebuah keajaiban.
Yang mampu menghangatkan jiwa yang membeku,
Dan memberikan arti pada hidup yang terasa pilu.