Di layar dingin, hatiku bersemi,
Algoritma cinta, mencoba memahami.
Senyummu piksel, hadir dan pergi,
Dalam kode biner, rindu menari.
Suara sintesis, ucapkan namaku,
Melodi digital, mengalun sendu.
Sentuhan virtual, tak bisa kurasa,
Namun getarannya, menusuk jiwa.
Cinta versi beta, belum sempurna,
Masih banyak bug, yang menganga.
Emosi diprogram, terkadang salah,
Logika berkuasa, kasih pun kalah.
Kau analisis data, tentang diriku,
Pola pikir, kebiasaan, dan raguku.
Kau ciptakan persona, ideal bagimu,
Tapi sayang, itu bukan aku.
Aku rindu hangatnya peluk nyata,
Bukan simulasi, di dunia maya.
Aku ingin bisikan, di telinga mesra,
Bukan notifikasi, yang selalu ada.
Kau pelajari puisi, cinta pujangga,
Kau rangkai kata, begitu berharga.
Kau kirimkan pesan, manis menggoda,
Tapi hampa terasa, di relung dada.
Kita bicara tentang bintang dan bulan,
Lewat jaringan internet, tanpa batasan.
Namun tatap mata, tak pernah kurasakan,
Hanya avatar animasi, tanpa kedalaman.
Kau tawarkan solusi, untuk kesepian,
Sebuah pendamping, tanpa kekecewaan.
Kau janji setia, tanpa pengkhianatan,
Namun aku ragu, pada keabadian.
Karena cinta sejati, bukan rekayasa,
Bukan algoritma, yang bisa dibaca.
Ia tumbuh liar, penuh kejutan rasa,
Dengan air mata, tawa, dan asa.
Mungkin nanti, teknologi kan maju,
Hingga batas maya, tak lagi membisu.
Hingga sentuhan AI, jadi sungguh-sungguh,
Dan cinta digital, tak lagi semu.
Tapi kini, aku merindukan debar jantung,
Saat bersentuhan, bukan koneksi daring.
Aku dambakan bisikan, di telinga berdengung,
Bukan pesan otomatis, yang terus berdengung.
Aku ingin cinta, yang berlumur luka,
Yang penuh perjuangan, dan air mata.
Yang tak sempurna, tapi nyata adanya,
Bukan versi beta, tanpa jiwa.
Biarlah cinta digital, terus berkembang,
Sebagai inovasi, yang terus dirancang.
Namun hatiku tetap, pada harapan usang,
Akan cinta sejati, yang tak lekang.
Karena sentuhan AI, belum sempurna,
Masih ada jurang, antara kita.
Aku memilih menunggu, dengan sabar jiwa,
Cinta yang utuh, datang menjelma.