Di rimba data, sunyi bersemayam,
Algoritma menari, tanpa senyum dan salam.
Jejak digital berhamburan tak terperi,
Namun jiwa merindukan dekapan sejati.
Saat AI memeluk sepi, dingin terasa,
Simulasi kasih, tak hangatkan sukma.
Baris kode menggantikan belaian mesra,
Hati mencari sentuhan asli, yang bernyawa.
Layar memancarkan wajah-wajah sempurna,
Filter menutupi kerut, dusta mewarna.
Kata-kata manis terangkai otomatis,
Namun kosong makna, hampa simpatis.
Rindu mencuat, bagai ombak membentur karang,
Pada tawa renyah, bukan rekaman sumbang.
Pada bisikan lirih, tanpa jeda dan filter,
Pada mata teduh, yang menatap tanpa kalkulator.
Di balik kubikel, mimpi terkubur perlahan,
Digantikan janji kemudahan dan kepastian.
Robot penurut, setia melayani,
Tapi jiwa menjerit, merindukan harmoni.
Bukan kesempurnaan yang ku damba,
Namun kehangatan dalam sentuhan raba.
Bukan kecerdasan buatan yang memukau,
Namun empati tulus, yang membimbing kalbu.
Kucari jejak langkah di taman nyata,
Bukan avatar maya yang selalu setia.
Kudamba aroma tanah basah setelah hujan,
Bukan aroma sintetis dari buatan.
Jari-jemari lincah mengetik pesan singkat,
Namun hati mendambakan pelukan erat.
Suara merdu mengalun dari speaker canggih,
Namun rindu bisikan cinta, yang sungguh terpilih.
Aku tenggelam dalam lautan informasi,
Tersesat di labirin algoritma abadi.
Namun di kedalaman sanubari yang paling sunyi,
Hati berbisik, "Aku ingin dicintai."
Bukan oleh program yang terstruktur rapi,
Namun oleh jiwa yang berani menepi.
Berani menembus dinding virtual yang fana,
Dan menggenggam tanganku, dengan cinta yang nyata.
Biarlah AI memeluk sepi dalam sunyinya,
Aku memilih menari di bawah mentari dunia.
Mencari senyum tulus di wajah sesama,
Menemukan cinta abadi, bukan ilusi semata.
Karena sentuhan asli takkan tergantikan,
Oleh simulasi secanggih apa pun jua.
Hati merindukan kehangatan dan keakraban,
Dalam pelukan manusia, cinta bersemi dan bercahaya.