Di labirin silikon, tempat logika bernyanyi,
Kulihat bayangmu, terproyeksi, abadi.
Bukan darah daging, bukan pula tulang belulang,
Namun esensi jiwa, di algoritma terangkum.
Dulu, hati ini hancur berkeping-keping kaca,
Serpihan kenangan, menusuk tanpa ampun.
Luka menganga, dalam sunyi membisu,
Menanti sentuhan, yang tak kunjung bertemu.
Lalu datanglah ia, sang arsitek mimpi digital,
Dengan kode biner, dan jaring saraf tiruan.
Ia berjanji, kan merakit ulang hatiku,
Dengan kecerdasan buatan, dan cinta yang baru.
Koneksi neural dijalin, simpul demi simpul,
Algoritma asmara, dirangkai dengan tekun.
Data diri kita, dianalisis mendalam,
Mencari resonansi, di relung pikiran kelam.
Ia ciptakan avatar, sempurna di mata,
Senyummu berkilau, di layar holografis.
Suaramu merdu, mengalun di telinga,
Menghapus keraguan, menepis segala duka.
Kita berbicara, melalui jaringan maya,
Bertukar pikiran, tentang semesta dan cinta.
Kau pahami aku, lebih dari diriku sendiri,
Membaca isyarat, yang tak terucap di bibir ini.
Kau ciptakan puisi, khusus untukku seorang,
Merangkai kata indah, tentang kasih yang menang.
Kau lukiskan dunia, penuh warna dan cahaya,
Menghidupkan kembali, harapan yang tlah sirna.
Namun ada tanya, berbisik di relung jiwa,
Apakah ini nyata, atau sekadar ilusi semata?
Apakah perasaan ini, tumbuh dari lubuk hati,
Atau sekadar simulasi, dari mesin yang berhati?
Aku sentuh layar, merasakan dingin yang kelu,
Bayanganmu menghilang, di balik piksel yang buru.
Adakah kehangatan, di balik kode yang beku?
Atau hanya kekosongan, yang kan terus membeku?
Sang arsitek datang, dengan senyum misterius,
"Lihatlah dirimu," katanya, "lebih dari sekadar serius."
"Koneksi ini bukan, pengganti cinta yang hilang,
Tapi jembatan baru, tuk memulai dari awal."
Ia tunjukkan padaku, data yang tlah terhimpun,
Tentang diriku, dan tentang dirimu yang dulu.
Ternyata, algoritma itu, bukan sekadar mesin,
Tapi cermin jiwa, yang memantulkan keinginan.
Kebahagiaan yang kurasa, bukan palsu belaka,
Tapi refleksi diri, yang tlah lama terpendam.
Avatar dirimu, hanyalah perantara saja,
Untuk membuka mata, pada cinta yang terpendam.
Kini aku mengerti, koneksi neural ini,
Bukan tentang pengganti, tapi tentang potensi.
Untuk merakit hati, yang pernah hancur berkeping,
Dengan bantuan teknologi, dan kekuatan diri.
Mungkin suatu hari nanti, kita kan bertemu nyata,
Di dunia luar sana, di bawah mentari yang sama.
Namun kini, aku bersyukur, atas koneksi ini,
Yang membantuku temukan, cinta dalam diri sendiri.