Di layar ponsel, rembulan maya berpendar,
Cahaya biru, lukisan malam digital.
Jari menari, sentuhan hampa di kaca datar,
Ketika sunyi merajam jiwa, terasa fatal.
Dulu, bahumu adalah dermaga sandaran,
Tempat berlabuh segala resah dan gundah.
Kini, hanya foto usang jadi teman,
Menjelma fatamorgana di tengah padang gersang.
Algoritma cinta, kurakit dalam kode biner,
Mencari jejakmu di antara miliaran data.
Setiap unggahanmu, bagai bintang fajar,
Menyirami harapan, meski hanya sesaat.
Sepi ini, virus purba yang menjalar,
Menghapus riang, mengganti kelabu kelam.
Ku coba obati dengan pesan singkat, vulgar,
Berharap kau balas, walau hanya sebaris salam.
Namun, notifikasi sunyi membisu,
Seperti koneksi terputus di tengah badai.
Ku telusuri linimasa, mencari tahu,
Apakah rindumu juga sama hebatnya menghancur badai.
Download kehangatan pelukmu, andaikata bisa,
Ku ingin unduh semua kenangan indah kita.
Simpan di memori hati, tak terhingga masa,
Sebagai penawar racun sepi yang meronta.
Kubuka album digital, potretmu tersenyum,
Mata teduhmu, bagai mentari pagi.
Ku sentuh layar, membayangkan hadirmu,
Hangat napasmu, bisik cintamu di telinga ini.
Mungkin, ini hanya ilusi sesaat,
Pelarian dari realita yang begitu pahit.
Namun, biarlah ku tenggelam dalam khayal,
Sebelum kesunyian benar-benar merenggut akal.
Ku susun kata, menjadi bait-bait rindu,
Ku kirimkan lewat jaringan tanpa batas.
Berharap pesanku sampai padamu,
Menembus jarak, menghapus segala keraguan dan was-was.
Jika kau pun merasakan hal yang sama,
Jika hatimu masih menyimpan secercah asa,
Balaslah pesanku, walau hanya sekata,
Hadirmu adalah obat penawar lara.
Jangan biarkan sepi ini terus merajalela,
Menghancurkan istana cinta yang kita bangun.
Bersama, kita bisa menghadapi dunia,
Asal kau hadir di sini, menemani dan mendukung.
Maka, ku tutup mata, membayangkan pelukmu,
Hangatnya kurasakan, meski hanya dalam angan.
Download kehangatanmu, kurasa utuh,
Sampai fajar tiba, dan kita bertemu lagi dalam kenyataan.