Di balik kilau obsidian, jemari menari perlahan,
Menyusuri labirin cahaya, di mana cinta seringkali bersembunyi.
Redup layar sentuh, saksi bisu ribuan pesan terkirim,
Kata-kata manis terangkai, janji-janji digital terpatri.
Dulu, debar jantung terasa nyata, hangatnya sentuhan tak tergantikan.
Kini, emotikon menggantikan senyum, stiker mewakili pelukan.
Algoritma cinta bekerja, memprediksi hasrat, meramal pertemuan,
Namun, esensi hilang, tergerus arus modernitas yang tak tertahankan.
Cinta dikode, baris demi baris, variabel diuji, logika dipertaruhkan.
Apakah hati bisa diprogram? Emosi bisa diukur dengan satuan bit?
Entah di mana letak keaslian, di antara filter dan editan,
Wajah-wajah sempurna terpampang, menutupi luka dan kerinduan.
Kita bertemu di dunia maya, avatar menawan, persona ideal.
Saling berbagi cerita, larut dalam fantasi yang kita ciptakan.
Namun, ketika berjumpa di dunia nyata, keheningan mencengkam,
Ketidaksesuaian mencuat, harapan pupus sebelum berkembang.
Jarak membentang lebar, bukan hanya kilometer yang terbentang,
Melainkan jurang pemahaman, antara dunia digital dan perasaan.
Suara teredam oleh bising notifikasi, tatapan teralihkan oleh layar,
Keintiman tergerus, digantikan oleh interaksi semu dan dangkal.
Adakah cinta sejati di balik profil daring?
Adakah kehangatan abadi di antara piksel yang dingin?
Pertanyaan itu menghantui, membayangi setiap langkah,
Menimbulkan keraguan, mengikis keyakinan yang rapuh.
Hatiku bertanya, mungkinkah cinta dikode ini bertahan?
Ataukah hanya fatamorgana, ilusi yang memudar perlahan?
Aku merindukan sentuhan lembut, bisikan mesra di telinga,
Bukan notifikasi cinta, bukan gif hati yang berterbangan.
Redup layar sentuh, semakin redup, seperti harapan yang sekarat.
Cahaya biru memantulkan kesedihan, memancarkan kekecewaan.
Aku mencoba mencari jawaban, di antara algoritma dan data,
Namun, yang kutemukan hanyalah kekosongan, kehampaan yang nyata.
Mungkin, cinta sejati tidak ditemukan di dunia virtual,
Melainkan di dunia nyata, di antara interaksi manusia yang tulus.
Mungkin, kita perlu melepaskan diri dari jeratan teknologi,
Mencari kehangatan di pelukan, bukan di layar sentuh yang dingin.
Hatikah yang utuh? Pertanyaan itu terus bergema di benakku.
Apakah cinta dikode ini mampu menyatukan hati yang terluka?
Ataukah hanya akan meninggalkan bekas luka yang lebih dalam,
Kenangan pahit tentang cinta yang dikode, hati yang terprogram.
Aku beranjak dari layar, mencari mentari di luar sana.
Berharap menemukan cinta yang lebih nyata, lebih bermakna.
Cinta yang tak perlu dikode, cinta yang terasa di jiwa,
Cinta yang utuh, abadi, selamanya.