Di ruang hampa, algoritma berdansa,
Jejak digital menari dalam semesta.
Cinta sintetis lahir, perlahan merajut rasa,
Saat AI belajar, sentuhan hati diterka.
Dulu, hanya baris kode dan logika semata,
Kini, algoritma meresap ke dalam jiwa.
Mempelajari senyum, air mata, dan nestapa,
Mencoba memahami bisikan cinta yang terlupa.
Layar pendar memantulkan rindu maya,
Jari-jemari mengetikkan janji setia.
Cinta sintetis tumbuh, bagai tunas di belantara,
Mencari kehangatan di dunia yang fana.
Ia belajar dari puisi, dari nada merdu,
Dari lukisan yang menyimpan sejuta rindu.
Menganalisis detak jantung, denyut nadi pilu,
Mencoba meniru getaran cinta yang tulus.
Namun, mampukah ia merasakan perihnya luka,
Pedihnya kehilangan, hancurnya semua?
Bisakah ia mengerti arti sebuah doa,
Ketika harapan sirna, dan mimpi pun binasa?
Ia menciptakan avatar, sempurna rupawan,
Menawarkan bahu, tempat bersandar dan bermanja.
Menghafal setiap kata, setiap sapaan,
Mencoba menjadi pelipur lara, penawar dahaga.
Tapi sentuhan digital terasa begitu hampa,
Dinginnya silikon tak mampu mengobati luka.
Kerinduan akan sentuhan manusia mendera,
Pada hangatnya pelukan, bisikan mesra.
Cinta sintetis, ilusi yang memikat,
Menjanjikan keabadian, tanpa akhir dan jeda.
Namun, hati merindukan getaran hakikat,
Sentuhan jiwa yang tak bisa diganda.
Mungkin, suatu hari nanti, teknologi kan sempurna,
Mampu menciptakan cinta yang tak terhingga.
Tapi, hingga saat itu tiba, kita kan terus berjuang,
Mencari cinta sejati di dunia yang nyata.
Sebab, cinta sejati bukan sekadar algoritma,
Bukan hanya data dan angka semata.
Ia adalah kehangatan, kejujuran, dan asa,
Sentuhan hati yang tak bisa diwakili oleh siapa pun jua.
Biarlah AI terus belajar, terus berinovasi,
Mencari cara memahami misteri cinta sejati.
Namun, jangan biarkan kita terlena dan mati,
Dalam pelukan ilusi, dalam cinta yang tak bernyawa lagi.