Jari menari di atas kaca,
Jejak cahaya, harapan membara.
Algoritma cinta, rumusnya tertera,
Di balik senyum avatar, jiwa merana.
Sentuhan layar, getar maya menyapa,
Rindu tercipta dari barisan angka.
Kata-kata manis, skrip sempurna,
Menyihir kalbu, melupakan logika.
Di dunia virtual, kita beradu pandang,
Profil terpilih, kisah dipesan.
Janji terucap, seindah rembulan,
Namun bayang-bayang, kesepian berkepanjangan.
Kucari wajahmu di antara kerumunan,
Bukan piksel sempurna, tapi sentuhan insan.
Namun kau hadir, terlalu jauh di awan,
Terikat kode, tak terjangkau dekapan.
Layar menjadi jendela, sekaligus penjara,
Cinta digital, ilusinya membara.
Kita berdansa dalam irama yang berbeda,
Kau di sana, aku di sini, terpisah samudera.
Kau kirimkan emotikon hati berdebar,
Namun matamu kosong, tak ada getar.
Kau ucapkan sayang, tanpa ragu dan gentar,
Namun bibirmu beku, menyimpan rahasia kelam.
Kutulis puisi ini, di tengah malam sunyi,
Tentang cinta algoritma yang sering kali keji.
Menjanjikan surga, namun memberi janji,
Yang tak pernah ditepati, hingga pagi hari.
Luka di dunia nyata, menganga lebar,
Tercipta dari mimpi yang terlalu vulgar.
Kita membangun istana dari pasir bertebar,
Yang runtuh diterjang ombak, tak terhindar.
Kucoba hapus jejakmu dari memori,
Namun bayangmu tetap menghantui.
Kau adalah virus, yang menginfeksi diri,
Menyisakan sakit, dan air mata yang menepi.
Mungkin esok, aku akan berani,
Menghapus aplikasi, membebaskan diri.
Mencari cinta yang lebih sejati,
Di dunia nyata, bukan di simulasi.
Biarlah algoritma tetap berputar,
Mencari pasangan yang tepat, tanpa sadar.
Aku akan mencari cinta yang tak pudar,
Yang bersemi di hati, bukan di layar.
Karena sentuhan layar hanyalah sementara,
Namun luka di dunia nyata, membekas selamanya.
Aku ingin merasakan hangatnya mentari,
Bukan kilau palsu dari teknologi.